BERBICARA mengenai cabang olahraga pencak silat, Jakarta dikenal sebagai gudangnya. Sejak dahulu di Jakarta banyak ditemukan alairan-aliran pencak silat yang sangat popular di penjuru Nusantara, bahkan dunia.
Salah seorang legenda pesilat (jawara) Betawi yang selalu menjadi buah bibir masyarakat adalah Si Pitung, jagoan yang antikolonialisme.
Mengenang pencak silat Betawi tidak terlepas dari sejarah perkembangan dan dinamika Jakarta tempo doeloe. Sejak dahulu Jakarta sudah menjadi kota kosmopolitan tempat di mana pertemuan berbagai ragam budaya, suku bangsa, hingga bangsa lain seperti Arab, Melayu, India, China, Portugal, Belanda, dan lain-lainnya.
Sejak Sunda Kelapa dikuasai oleh pasukan Demak yang dipimpin Fatahillah (1527), lahirlah Jayakarta, yang saat ini setiap tahun diperingati sebagai hari jadi kota Jakarta pada tanggal 22 Juni. Perjalanan panjang sejarah Jakarta berimpilikasi pada masyarakat yang mendiaminya.
Menurut Antropolog Universitas Indonesia, Yasmin Zaki Shahab, diperkirakan etnis Betawi terbentuk sekitar tahun 1815-1893. Oleh sebab itu orang Betawi sebenarnya terhitung sebagai pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lainnya yang sudah terlebih dahulu hidup di Jakarta seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu.
Betawi memang terkenal dengan tokoh-tokoh persilatan hingga aliran jurus (maenan) yang digunakan seperti Cingkrik, Gie Sau, Beksi, Kelabang Nyebrang dan merak Ngigel, Naga Ngerem, dan sebagainya.
Keragaman aliran silat Betawi turut diwarnai oleh latarbelakang silat dari daerah lain, seperti silat aliran Sahbandar, Kuntao (China) dan beberapa aliran silat dari Sunda. Proses asimilasi mendapatkan nama aliran ataupun perkumpulan baru. Nampaknya ciri khas dan latar belakang betawi tetap kuat mewarnai gerakan jurus-jurusnya.
Seperti Mustika Kwitang yang berdiri Kampung Kwitang, Jakarta Pusat, salah satu tokohnya adalah H Muhammad Djaelani, yang lebih dikenal dengan sebutan Mad Djaelani. Ilmu silat Mustika Kwitang, kini diwariskan pada cucunya, sekaligus muridnya, H Zakaria.
Akulturasi Ilmu Silat dari China dengan Betawi bukan hal yang aneh misalnya silat Beksi, atau bek (Pertahanan) dan Sie (Empat) yang artinya pertahanan empat arah. Tiga pendekar Beksi (H Gozali, H Hasbullah, dan H Nali) dan seorang China bernama Ceng Ok, mengembangkannya di Betawi (Jakarta). Diperkiraan, aliran Beksi merupakan Silat Betawi yang paling luas penyebarannya di Jakarta saat ini.
Kemajemukan ini pula yang menyebabkan terjadinya pertukaran seni, budaya, adat istiadat hingga ilmu bela diri yang berkembang saat itu atau yang lebih populer dengan istilah “Maen Pukulan” (silat).
Silat diperkirakan sudah ada sejak abad ke-16 di mana masyarakat setempat (Jayakarta) pada masa itu sering mempertunjukkan seni silat di saat pesta perkawinan atau khitanan. Hal ini memperkuat dugaan bahwa silat tidak hanya berfungsi sebagai ilmu bela diri namun sudah menjadi suatu produk sosial, seni budaya yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari.
Pencak Silat telah mewarnai kehidupan masyarakat Betawi, di mana silat atau maen pukulan adalah hal yang wajib dipelajari. Silat Betawi terkenal dengan aliran-alirannya yang merunut pada asal kampung atau daerah perkembangannya.
Hal ini menurut antropolog Parsudi Suparlan, “bahwa masyarakat betawi dalam pergaulannya sehari-hari, lebih sering menyebut dirinya berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, orang Tanahabang, atau orang Rawabelong”.
Karena pada saat itu, kesadaran sebagai masyarakat Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu belum begitu mengakar. Baru pada tahun 1923 Moh Husni Thamrin dan tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkumpulan Kaum Betawi di masa Hindia Belanda, menyadarkan segenap orang Betawi sebagai sebuah golongan (kelompok etnis sebagai satuan sosial dan politik yang lebih luas) sebagai golongan orang Betawi.
Betawi memang dikenal memiliki banyak cerita dan kenangan di dunia pencak silat. Konon kabarnya di Jakarta terdapat ratusan aliran silat. Si Pitung atau Sabeni dari Tanahabang hanyalah dua kisah dari sekian banyak legenda superioritas jawara-jawara Betawi zaman silam. Di tengah-tengah masyarakat Betawi pun muncul semacam keyakinan, bahwa memperdalam pencak silat adalah salah satu upaya memelihara warisan leluhur.
Si Pitung yang menjadi kisah heroisme jawara Betawi zaman silam adalah pesilat dari aliran Cingkrik (www.silatindonesia.com). Pitung berasal dari kampung Rawabelong, Kelurahan Sukabumi Utara, Jakarta Barat, belajar silat dan mengaji dari H Naipin.
Kepandaiannya bermain silat menjadikan Pitung cukup terkenal karena keberaniannya untuk membela rakyat kecil, dengan cara “merampok” orang Belanda. Pitung memberikan hasil rampasannya tersebut kepada orang-orang miskin yang membutuhkan.
Demikian dikemukakan Margreet van Till (Belanda) dalam makalah/disertasinya, In Search of si Pitung, the History of an Indonesia Legend (1996), sepak terjang Pitung menjadikan dia sebagai incaran Belanda. Karena penghianatan kawan seperguruannya, Pitung ditembak mati oleh Schout Van Hinne terjadi pada 16 Oktober 1893. Ia lalu dibawa ke rumah sakit dan esoknya meninggal dunia (17 Oktober).
Beritanya dimuat dalam Hindia Olanda (edisi 18 Oktober 1893), pada usia yang muda, sehingga menurut cerita, Pitung belum sempat berkeluarga.
Kisah Pitung adalah kisah jawara aliran silat Cingkrik Betawi. Konon, selain Cingkrik, Betawi juga masih memiliki sekitar 300 aliran silat. Namun data yang kini terdapat di PPS Putra Betawi dari ratusan aliran silat Betawi, kini hanya tersisa 50 aliran. Cingkrik adalah salah satu yang masih bertahan.
Permainan silat Cingkrik dikenal dengan cukup khas sebagai silat betawi pada umumnya. Perkembangan silat cingkrik ini pun telah membias ke pelosok-pelosok kampung Betawi, sehingga aliran ini memiliki banyak turunannya (aliran).
Salah satu turunan antara cingkrik dan Cimande adalah aliran Cingkrik Goning, yang merupakan silat Betawi warisan dari Engkong Goning yang merupakan pejuang kemerdekaan dari wilayah Kedoya.
Ilmunya kemudian diturunkan kepada Usup Utay, yang kemudian menurunkan kepada mantunya yaitu Tb Bambang. Silat Cingkrik secara umum terbagi dua, yaitu Cingkrik Goning dan Cingkrik Sinan. Perbedaannya ialah Cingkrik Sinan menggunakan “ilmu kontak” sementara Cingkrik Goning hanya mengandalkan kelincahan fisik. Cingkrik selalu berusaha untuk masuk dan mengunci lawan, jadi tidak banyak berlama-lama bertukar pukulan atau tendangan.
Cingkrik sangat mengandalkan kekuatan tenaga dalam. Salah satu aliran silat tertua di Betawi ini bernaung di bawah organisasi silat Persatuan Pencak Silat (PPS) Putra Betawi, organisasi yang didirikan pada tahun 1972.
Gagasan membentuk wadah bagi silat aliran betawi muncul dengan tujuan mempersatukan pesilat Betawi. Wadah ini menjadi semacam forum komunikasi bagi pesilat Betawi, agar dapat terus mempertahankan warisan budaya leluhur tersebut.
Menurut data dari Silat Indonesia.com, saat ini terdapat lebih 50 aliran atau perguruan silat yang bernapaskan silat Betawi, dan memang tidak semua aliran silat ini bisa dijangkau seketika. Harus ada proses sosialisasi dan pendekatan yang berkelanjutan, inipun beberapa silat yang bernaung dibawah Putra Betawi mulai menghilang dari Jakarta.
Proses penelusuran guna menghidupkan beberapa perguruan dilakukan melalui beberapa cara, antara lain Kejuaraan Internal Silat Betawi dan melalui Festival Silat Betawi. Tujuannya adalah untuk memantau perkembangan silat betawi agar tetap hidup walaupun tidak sepopuler pada masa lalu. (Ahmad Fahir)
Di Publikasi oleh :
Koran Jurnal Nasional
Source : Yanweka / Silatindonesia.com
Senin, 10 September 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar